Perang Enam Hari
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Perang Enam Hari terjadi pada tahun 1967 antara Israel di satu pihak menghadapi gabungan tiga negara Arab, yaitu Mesir, Yordania, dan Suriah -- di mana ketiganya juga mendapatkan bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Aljazair. Perang tersebut berlangsung selama 132 jam 30 menit (kurang dari enam hari). Hanya di front Suriah saja perang berlangsung enam hari penuh.
Perang tersebut disebabkan oleh ketidakpuasan orang Arab atas kekalahannya dalam Perang Arab-Israel tahun 1948 dan 1957. Mereka tetap tidak bersedia mengakui keberadaan negara Israel dan menyerukan penghancuran negara Yahudi tersebut dan mengusir penduduknya ke laut. Selama bertahun-tahun, terjadi perang kecil-kecilan di perbatasan antara pasukan Mesir, Suriah, dan Yordania dengan Israel. Selain itu, negara-negara Arab juga mendorong gerilyawan Palestina menyerang sasaran-sasaran Israel.
Di tengah-tengah ketegangan tersebut, Uni Soviet memberikan keterangan kepada Presiden Mesir Gamal Nasser bahwa pasukan Israel sedang berkumpul secara besar-besaran di perbatasan Syria untuk menyerang negara tersebut. Pada kenyataannya, informasi tersebut tidak benar. Uni Soviet sendiri sengaja memberikan keterangan palsu itu untuk mengobarkan radikalisme di Dunia Arab guna membuat kesulitan bagi kepentingan Barat di wilayah tersebut.
Nasser, yang tidak tahu rencana Soviet tersebut, segera mengerahkan pasukan Mesir secara besar-besaran ke perbatasan Mesir-Israel tanpa mempedulikan kesepakatan gencatan senjata sebelumnya yang melarang pengerahan pasukan di sana. Mereka kemudian mengambil alih pos-pos penjagaan yang dijaga pasukan perdamaian PBB. Akan tetapi orang Mesir tidak bertindak sampai di situ. Mereka kemudian melakukan kerja sama militer dengan Suriah, Yordania dan Irak untuk mengepung Israel.
Pada mulanya, Israel menyampaikan protes atas pelanggaran terhadap persetujuan gencatan senjata sebelumnya. Akan tetapi protes tersebut diabaikan oleh negara-negara Arab, yang malah semakin berani karena menafsirkan protes Israel itu sebagai tanda kelemahan dan ketakutan negara Yahudi terhadap kekuatan militer yang dihimpun orang Arab. Bahkan propaganda Nasser meyakinkan bangsa Arab bahwa mereka dapat memenuhi cita-cita mereka untuk memusnahkan negara Israel berkat modernisasi militer yang dilakukan Soviet terhadap Mesir dan Suriah pasca Perang Suez tahun 1956.
Setelah protesnya diabaikan, Israel yang merasa terancam akhirnya memutuskan untuk melakukan tindakan militer sebelum diserang. Sebenarnya, setiap kemungkinan serangan Arab dapat dipatahkan Israel. Tetapi karena memperhitungkan akan jatuhnya banyak korban apabila mereka diserang terlebih dahulu maka para pemimpin Israel memutuskan untuk melancarkan serangan preventif.
Pada tanggal 5 Juni, pesawat-pesawat tempur Israel melumpuhkan AU Mesir di lapangan-lapangan terbang mereka. Setelah itu, pasukan darat Israel melancarkan serangan yang memaksa pasukan Mesir melarikan diri menyeberangi Terusan Suez. Pada saat yang sama, pasukan Israel menghantam tentara Suriah. Di front yang ketiga, meskipun Israel berharap Yordania tetap netral, namun kerajaan tersebut terbujuk oleh Nasser dan melancarkan serangan terhadap wilayah Israel dari wilayah yang mereka duduki di Tepi Barat. Hal tersebut memberikan alasan bagi Israel untuk merebut Tepi Barat dan Yerusalem Timur yang telah dianeksasi Yordania sejak tahun 1948.
Perang berlangsung lebih singkat di 2 dari 3 front yang dihadapi Israel: Mesir tersingkir dari arena peperangan hanya dalam waktu 4 hari sementara Yordania hanya dalam waktu 3 hari. Hanya di front Suriah pertempuan berlangsung lebih lama: 6 hari penuh.
Perang sebenarnya dapat berlangsung lebih lama daripada yang terjadi dengan hasil yang mungkin berbeda dan kurang mempermalukan orang Arab, karena kekuatan mereka belum benar-benar terkuras. Akan tetapi ada dua alasan mengapa orang Arab menyerah:
- wilayah yang hilang hanya memiliki sedikit penduduk (seperti kasus Sinai pada Mesir dan Dataran Tinggi Golan pada Suriah) atau merupakan wilayah pendudukan (dalam kasus Jalur Gaza yang diduduki Mesir maupun Tepi Barat yang diduduki Yordania sejak tahun 1948)
- ibu kota ketiga negara tersebut terancam (pasukan Israel hanya berada kurang dari 100 km dari Kairo dan kurang dari 50 km dari Damaskus dan Amman).
Perang tersebut merupakan yang paling dramatis dari semua perang yang terjadi antara Israel dan negara-negara Arab, mengakibatkan depresi selama bertahun-tahun di Dunia Arab, mengubah mentalitas dan orientasi politik di kalangan rakyatnya dan menyebabkan meningkatnya ketegangan antara negara-negara Arab dengan dunia Barat. Sementara kerugian material dan manusia cukup dramatis, kelemahan orang Arab dalam perang ini dibandingkan efisiensi orang Israel tetap menjadi catatan sejarah yang tidak terlupakan.
Perang menyebabkan Israel memperoleh wilayah yang lebih luas dibandingkan perang-perang lainnya yang melibatkan negeri tersebut: Sinai dan Jalur Gaza direbut dari Mesir, Yerusalem Timur dan Tepi Barat dari Yordania dan Dataran Tinggi Golan dari Suriah.
Bagi masyarakat internasional, perang menyebabkan ditutupnya Terusan Suez selama 8 tahun sehingga membuat harga barang dalam perdagangan dunia yang menggunakan pelayaran meningkat tajam.